Sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon ini merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa.
Bila Anda berkunjung ke Kraton di Yogyakarta maupun Jawa Tengah, hampir semua Abdi Dalem istana menutupi kepalanya dengan sebuah penutup kepala yang disebut blangkon, penutup kepala pria dari kain batik yang merupakan bagian dari pakaian tradisional masyarakat jawa.
Tidak ada catatan sejarah yang bisa menjelaskan asal muasal pria Jawa memakai ikat kepala ini. Namun pada zaman dulu, Blangkon hanya berupa kain ikat yang terbuka bagian atasnya. Ikat atau iket ini sudah dikenal sejak legenda Aji Saka yang berhasil mengalahkan Dewata Cengkar (seorang raksasa penguasa tanah jawa).
Ada juga sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon ini merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut ahli, Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis, pertama keturunan Tiongkok dan yang kedua Gujarat atau Arab.
Mereka selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala mereka. Sorban inilah yang konon menginspirasi orang Jawa untuk memakai ikat kepala seperti halnya orang keturunan Arab.
Apalagi ajaran Islam menganjurkan para pria menutup seluruh bagian kepala, hingga akhirnya lahirlah ikat yang lebih rapi dan menyembunyikan rambut panjang mereka. Namun pemakaiannya saat itu masih sangat rumit.
"Sebelum mengenakan iket, mereka harus menggelung atau menguncir rambut ke belakang. Kemudian iket dilipat hingga menutupi kepala sampai sebatas dahi dan atas telinga,” kata Ranggajati Sugiyatno, pakar blangkon di Solo.
Tidak Sembarangan
Membuat sebuah blangkon tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tidak sembarang orang yang bisa membuat blangkon. Para seniman harus mengerti pakem atau aturan yang baku. Semakin memenuhi aturan tersebu, maka blangkon tersebut semakin tinggi nilainya.
Seorang ahli kebudayaan, Becker pernah meneliti cara pembuatan Blangkon. Ternyata blangkon memerlukan satu keahlian yang disebut virtuso skill. "Membuat blangkon memerlukan sebuah ketrampilan yang menyeluruh. Keterampilan itu diperlukan guna memperoleh bentuk yang estetis dan indah,” terang Becker.
Penilaian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap pakem juga tergantung sejauh mana seseorang mengerti akan standar cita rasa serta ketentuan- ketentuan yang sudah menjadi standar sosial. Pakem yang berlaku untuk blangkon, ternyata bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para penggunanya.
Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain ikat atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh kain tersebut.
Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melalui atas. Pada umumnya bernomor 48 paling kecil, dan 59 paling besar.
Makna Mendalam
Namun bukan tanpa alasan pembuatan blangkon harus dihitung secara cermat. Jika melihat maknanya, lipatan melingkar atau bulatan di belakang Blangkon yang disebut mondolan merupakan pengingat agar manusia tidak menutup mata terhadap Tuhan dan selalu menjalankan perintah-Nya.
Tidak hanya itu saja, sisa kain di samping mondolan jika dihitung berjumlah 6 yang berarti rukun iman dalam Islam. Terkesan Islamik memang sebab konon ini berkaitan dengan sejarah awal mula blangkon dipakai. Sesepuh keluarga keraton Mataram, yakni Ki Ageng Giri merupakan pencetus terciptanya blangkon.
Selain itu, dalam masyarakat jawa sendiri, Mondolan mempunyai filosofi pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus.
Sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos).
Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan.
Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon.
Serupa Tak Sama
Tentu saja, bentuk blangkon tidak pernah seragam di setiap daerah. Di Jawa, terdapat tiga jenis blangkon, yaitu blangkon kejawen, pasundan, dan pesisiran. Jenis blangkon kejawen umumnya dipakai di daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, dan Malang.
Khusus untuk Yogyakarta, blangkon kejawen dibedakan menjadi gaya utara dan selatan.
Sementara dari bentuknya terdiri dari jebehan, cepet, waton, dan kuncungan. Perbedaan inilah yang kemudian melahirkan motif-motif blangkon, seperti adimuncung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan, tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Surakarta muncul beberapa jenis blangkon lagi, yaitu wironan atau mataraman, iket krepyak dan trepes.
Yogyakarta dan Solo (Surakarta) yang sama-sama sebagai bagian dari Kerajaan Mataram pun memilik bentuk blangkon yang berbeda. Perbedaan mencolok dan yang paling mudah dikenali adalah pada bagian belakang blangkon.
Blangkon gaya Yogyakarta memiliki mondholan, sedangkan blangkon Solo tanpa mondholan atau terlihat rata.
Sumber: m.otonomi.co.id